Antara Kehendak Syariat dan Kehendak Realitas
pixabay |
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Dan Allah telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat (QS. As Shafaat 96)
Meyakini Allah tidak menciptakan perbuatan manusia sama saja meyakini bahwa ada pencipta lain di alam ini selain Allah, dalam hal ini manusia itu sendiri. Ini dianggap salah satu bentuk kesyirikan yang bertentangan dengan ketauhidan. Imam al Bukhari bahkan pernah menulis satu buku khusus berjudul “Khalqu Af’alil Ibaad” (Penciptaan Perbuatan-perbuatan Manusia). Di dalamnya beliau secara komprehensif memaparkan berbagai dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.
Seorang muslim percaya bahwa setiap kejadian di alam semesta, besar atau kecil, berkaitan dengan perbuatan manusia atau tidak berkaitan, semuanya sudah ditetapkan dalam al-Lauh al-Mahfuzh dan tidak pernah berubah.
Apakah itu berarti seseorang telah ditakdirkan menjadi orang jahat kemudian dimasukkan ke dalam neraka?
Benar. Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
… Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rejekinya, ajalnya, amal perbuatannya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tiada yang berhak disembah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta saja. Akan tetapi ketetapan (takdir) telah mendahuluinya. Dia pun akhirnya melakukan perbuatan ahli neraka, maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta saja. Akan tetapi ketetapan (takdir) telah mendahuluinya. Dia pun akhirnya melakukan perbuatan ahli surga, maka masuklah dia ke dalam surga. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini artinya perbuatan manusia pun sebenarnya telah ditakdirkan. Dalam hadits lain dari Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu alaihi wasallam menyatakan,
Tidaklah setiap orang di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempatnya di neraka dan di surga (HR. Bukhari no. 4949)
Jika memang sudah ditetapkan, untuk apa berusaha jadi orang baik?
Tunggu dulu, hadits di atas masih ada lanjutannya.
Setelah mendengan ucapan Nabi itu, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, Tidakkah kalau begitu kita tinggalkan saja amal perbuatan dan bersandar pada takdir?”. Beliau menjawab,
Beramallah karena tiap-tiap orang akan dimudahkan untuk apa yang menjadi destinasinya (HR. Bukhari no. 4949)
Untuk dipahami juga bahwa destinasi akhir setiap manusia ditetapkan berikut dengan sebab-sebabnya. Ini karena ketika menciptakan akibat, Allah subhanahu wataala juga menciptakan sebabnya. Seseorang yang ditakdirkan menjadi orang sukses akan ditakdirkan pula menjadi orang yang giat bekerja. Seseorang yang ditakdirkan masuk surga, akan ditakdirkan di dunia menjadi manusia yang baik. Seorang yang ditakdirkan masuk neraka, akan ditakdirkan pula di dunia menjadi manusia yang buruk.
Apakah ini bertentangan dengan konsep “kehendak bebas”?
Ya dan tidak. Ya, bertentangan, karena perbuatan dan kehendak manusia memang telah ditakdirkan. Tidak bertentangan, karena kenyataanya manusia juga diberi kehendak dan diberitahu konsekuensi dari tiap-tiap pilihan yang diambil. Namun, semua kehendak manusia itu tidak keluar dari apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki oleh Allah.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Tidaklah kalian berkehendak kecuali jika Allah Tuhan semesta alam menghendakinya (QS. At Takwir 29)
Justru termasuk keadilan plus kemurahan-Nya lah bahwa meski Dia yang menciptakan kita, Dia masih memberikan “kehendak bebas” dan kesempatan pada kita untuk memilih, apakah akan tunduk pada-Nya ataukah membangkang, apakah beriman kepada-Nya ataukah ingkar.
فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“Barang siapa yang hendak beriman, silakan beriman, dan barang siapa hendak kafir, silakan kafir, (QS. Al Kahfi 29)
Padahal seorang tuan yang menciptakan dan yang memiliki, punya kuasa mutlak atas apa yang ia ciptakan dan ia miliki, dan ini adalah suatu kepantasan. Kita sebagai makhluk dan milik-Nya, akan ditakdirkan bagaimana, itu terserah pada-Nya. Bahkan jika Allah mau, bisa saja Allah menciptakan orang baik yang kemudian dimasukkan ke dalam neraka. Hanya saja ini mustahil karena,
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
Tuhanmu tidaklah zalim terhadap hamba-Nya (QS. Fusshilat 46)
Nah, oleh karena manusia tidak pernah tahu apa yang menjadi ketetapan takdirnya, maka urusannya hanyalah berusaha. Islam sendiri menganjurkan untuk berusaha dan tidak berpangku tangan; apalagi bersandar pada takdir.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d 11)
Apa berarti Tuhan punya sifat jahat?
Subhanallah, maha suci Allah dari sifat itu. Betapa banyak anak kecil yang berkata, “Papa jahat!” hanya karena keputusan sang ayah yang tidak disenanginya. Itu karena akalnya memang tidak mampu mencapai kebijaksanaan yang dimiliki oleh orang dewasa seperti sang ayah. Tapi apakah ayah tersebut benar-benar jahat?
Ini bukan lagi antara orang tua dengan anak kecil. Ini antara Yang Maha Mencipta dengan ciptaan-Nya. Oleh karenanya, tatkala malaikat bertanya kepada Allah Taala mengapa menciptakan manusia dan menjadikannya khalifah di bumi padahal nanti mereka akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, Dia hanya menjawabnya dengan kalimat:
إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْن
َSesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al Baqarah 30)
Lalu kenapa Tuhan menciptakan orang jahat yang kemudian dimasukkan ke neraka?
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia tidaklah ditanya tentang apa yang Dia perbuat dan merekalah manusia yang ditanya (QS. Al Anbiya 23)
Sesederhana itu.
Sudah dijelaskan bahwa takdir seseorang bukan urusan manusia. Nabi saja tidak punya urusan di sini. Beliau pernah mendoakan laknat kepada beberapa orang musyrik Quraisy yang masih hidup secara tunjuk hidung, dengan menyebut nama mereka masing-masing. Sebelumnya untuk diketahui, doa laknat adalah doa supaya dijauhkan dari rahmat Allah sejauh-jauhnya. Ini artinya beliau berdoa supaya orang itu tidak akan pernah selamat selama-lamanya sampai akhirat. Namun bukannya mengabulkan, ternyata Allah justru menurunkan ayat yang menegur beliau,
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Ini bukanlah urusanmu sedikitpun.. (QS. Ali Imran 128)
Dan terbukti, dari beberapa nama yang disebut laknatnya oleh Nabi, ada yang masuk Islam dan baik keislamannya. Ia menjadi sahabat beliau hingga akhir hayat.
Kalau begitu kita harus menerima semua perbuatan, bahkan yang buruk dan bertentangan dengan agama, karena itu sudah kehendak-Nya?
Kehendak Allah itu ada dua jenis, kehendak syariat (Iradah Syar’iyyah) dan kehendak realitas (Iradah Kauniyah). Kehendak syariat adalah seluruh ketentuan agama, sedangkan kehendak realitas/kauniyah adalah apa yang menjadi cakupan takdir yang sedang kita bahas. Bagi seorang muslim, segala perbuatan yang bertentangan dengan kehendak syariat sudah semestinya tidak diterima, meski secara kehendak realitas, itu pasti terjadi karena Allah sendiri yang menakdirkannya.
Terkait ini, para ulama memberikan ringkasan, “Kehendak-Nya yang bersifat kauniyah mencakup apa yang dicintai-Nya dan dibenci-Nya, sedangkan kehendak-Nya yang syariyyah hanyalah yang dicintai-Nya”
Ada kisah menarik di abad pertengahan. Dahulu ada seseorang yang berbuat kriminal dan kemudian dibawa kepada seorang khalifah untuk dihukum cambuk. Orang itu pun komplain kepada khalifah, “Wahai amirul mukminin, kenapa Anda akan menghukumku, bukankah Allah telah menghendakiku berbuat jahat?”.Tanpa pikir panjang sang khalifah pun langsung mencambuknya. Setelah itu ia berkata pada orang tersebut, “Engkau juga jangan protes karena hukumanku kepadamu juga termasuk kehendak Allah”.
Dalam kisah ini, sang khalifah hendak memberikan pelajaran pada orang tersebut bagaimana seharusnya sikap seseorang terhadap takdir, bahwa takdir terhadap perbuatan manusia tidaklah semestinya dijadikan pembenaran dari pilihan buruk yang diambil.
Sumber
Muhammad R. Kahfi
Comments
Post a Comment